SUKARNO sangat mencintai seni. Itu fakta sejarah. Dalam kalimat pembuka otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia,
dia mengakui bahwa untuk menggambarkan dirinya, cara termudah ialah
dengan menyebutnya ‘mahapencinta’. Selain mencintai negerinya, Sukarno
mencintai rakyatnya, mencintai perempuan, mencintai seni, dan
seterusnya. “Aku bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, karena aku dilahirkan
dengan perasaan halus dan darah seni.”
Sukarno bukan anak kemarin sore dalam
urusan seni. “Secara genetik, Sukarno ini berdekatan dengan seni bukan
secara kebetulan,” ujar kritikus seni Merwan Yusuf dalam diskusi “Bung
Karno dan Seni”. Darah Bali ibunya, dalam pandangan Merwan, mengalirkan
darah seni pada Sukarno. “Orang Bali itu dan agamanya sudah sebuah
seni,” ujarnya.
“Bung Karno dan Seni” merupakan bagian
dari rangkaian Pameran Seni Rupa “Energi Bung Karno” yang dihelat
Majalah Historia bekerjasama dengan Megawati Insitute dan Galeri Cipta
di Galeri Cipta III, 22-30 Juni. Selain Merwan Yusuf, pembicara lain
adalah sejarawan Asvi Warman Adam. Diskusi yang dimoderatori wartawan
Arie MP Tamba itu berlangsung meriah dengan beragam pertanyaan berbobot.
Kecintaan Sukarno akan seni terus
bertambah seiring makin dewasanya dia. Keputusan memilih jurusan
arsitektur dalam kuliahnya merupakan salah satu indikasi minat dan
bakatnya pada seni. Di Ende, misalnya, Sukarno membuat sandiwara untuk
membunuh kesepiannya. Ada sekira 12 naskah yang dia tulis selama
pembuangannya.
Kecintaan pada seni turut mempengaruhi
gaya kepemimpinan Sukarno. Sebagai contoh, menurut sejarawan Asvi Warman
Adam, Sukarno berperan penting dalam penentuan lambang negara. Desain
pakaian-pakaiannya, terutama jas, banyak yang dia kerjakan sendiri.
Dalam sebuah kesempatan, pernah Sukarno meminta Jusuf Muda Dalam membeli
sebuah lukisan yang dia senangi dalam sebuah acara. Namun Jusuf urung
membayarnya karena kondisi keuangan negara yang sedang kritis. Di lain
kesempatan, Sukarno pernah menugaskan salah seorang menterinya untuk
membuat kalimat di museum nasional seindah kalimat yang terpampang di
pintu keluar museum nasional Meksiko. “Anda bisa meninggalkan gedung
museum ini, tapi Anda tidak bisa meninggalkan masa lalu,” demikian bunyi
kalimat itu, dan Sukarno sangat menyukainya. Penamaan memang menjadi
salah satu keahlian Sukarno. “Pengambilan nama dan istilah,” bagi
Sukarno menurut Merwan, “sangat dipikirkan.”
Selain hobi melukis, Sukarno dikenal
sebagai kolektor lukisan. “Dialah yang memulai kolektor pertama dengan
jumlah lukisan terbanyak di Indonesia,” ujar Merwan. Sukarno juga sangat
peduli kepada para pelukis di samping seniman-seniman di bidang lain.
“Selain seniman, kolektor, Sukarno juga pelindung seniman,” lanjut
Merwan.
Seni bagi Sukarno seperti ruh, membuat
apapun karya atau hasil kerjaan terasa hidup. Misalnya pada salah satu
kuliahnya yang disiarkan RRI, Sukarno bisa secara luwes menganalogikan
Demokrasi Terpimpin dengan sebuah orkestra. Meski masing-masing elemen
punya peran penting, tanpa dirijen mereka tak akan bisa menghasilkan
alunan nada yang harmonis. Dirigenlah yang bertugas membuat peran-peran
itu menjadi padu, menghasilkan sebuah karya musik nan apik. Peran
dirijen itulah yang dalam demokrasi dipegang oleh pemimpin atau tetua
dalam tradisi musyawarah yang telah diwariskan secara turun-temurun di
negeri ini.
Sukarno tak hanya menikmati seni untuk
dirinya sendiri. Sukarno ikut menularkan jiwa seni kepada rakyatnya.
Lebih jauh, Sukarno menggunakan seni sebagai media merancang, membangun,
dan merawat bangsanya. Patung, monumen, bangunan, lukisan, lagu dan
lain sebagainya menjadi buktinya. Tak jarang Sukarno harus merogoh
koceknya sendiri untuk mewujudkan karya-karya seni itu. Bila memang ada
klasifikasi ‘seni untuk bangsa’, “Sukarno itu di situ perannya,”. _123
0 komentar:
Posting Komentar